Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap sebagai (ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang).
Zakat menurut etimologi berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik. Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Menurut Ibnu Taimiah, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Dari aspek terminologi, Zakat berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah swt. untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta orang yang berzakat.Zakat dalam Al-Qur’an dan hadis kadang-kadang disebut dengan sedekah, seperti firman Allah swt.,
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم والله سميع عليم
“Ambillah zakat (sedekah) dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah buat mereka, karena doamu itu akan menjadi ketenteraman buat mereka.” (Q.S. At Taubah, 103). Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. ketika memberangkatkan Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda, “Beritahulah mereka, bahwa Allah mewajibkan membayar zakat (sedekah) dari harta orang kaya yang akan diberikan kepada fakir miskin di kalangan mereka.” (Hadis ini diketengahkan oleh banyak perawi).
Potensi zakat yang menurut penelitian mencapai angka 217 triliun (hasil penelitian BAZNAS bekerja sama dengan FEM IPB dan IDB,2011) dan Jika menggunakan potensi zakat 3,4% dari PDB, potensi zakat nasional 2016 mencapai Rp 442 triliun, sumber yang besar untuk memberdayakan masyarakat dan memoderasi kemiskinan di Negeri ini dimana Alokasi dana zakat sudah ditentukan secara pasti oleh syari’ah (Al-Qur’ân 9: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 ashnâf saja. Jumhur ulamâ’ sepakat bahwa selain 8 ashnaf ini, haram menerima zakat, Al-Qur’ân menyebutkan fuqara’ (fakir) dan masakin (miskin) sebagai kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat, yang mendapat prioritas dan pengutamaan oleh al-Qur’ân. Mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat. namun demikian kenyataan yang ada bahwa baru sekitar 2,0% yang berhasil digali dari potensinya.
Apabila dilakukan mapping persoalan zakat secara komprehensif di Indonesia, maka dapat di definisikan sebagai berikut: (1) pemahaman umat Islam terhadap zakat umumnya sangat minim dibandingkan dengan syariat lainnya seperti shalat dan puasa. Jenis harta yang dizakati, ketentuan minimal, pihak-pihak yang berhak dan tujuan penyariatan ibadah ini kurang dikenal oleh umat Islam. Bahkan kewajiban zakat, masih dipahami identik dengan zakat fitrah saja yang secara kuantitatif sangat kecil; (2) Adanya konflik kepentingan antar lembaga pengelola zakat yang bermunculan di masyarakat, hal itu menimbulkan kesan tidak adanya koordinasi satu lembaga dengan lainnya; (3) Meskipun kesadaran semakin baik untuk berzakat, namun masih muncul krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga penghimpun zakat. Mereka masih menganggap lembaga-lembaga tersebut tidak profesional, tidak amanah dan fungsi kontrol yang lemah; (4) Adanya kekhawatiran politis apabila dana zakat tersebut digunakan untuk kepentingan politik umat islam; (5) Masih adanya pandangan yang tradisionalis, seperti memberikan langsung kepada pemuka agama bukan pada mustahiq sehingga terjadi penumpukan zakat[1] (6) Zakat masih dipahami sebagai tujuan bukan instrumen untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial (social walfare)[2].
Kehadiran Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan Peraturan Pemerintah nomor 14 Tahun 2014 merupakan babak sejarah baru wajah pengelolaan zakat di Indonesia, dimana dalam Undang-Undang yang baru tersebut dapat menjawab kekurangan-kekurangan atas Undang-Undang sebelumnya nomor 38 tahun 1999.
Perundangan yang baru mengatur secara kompleks pihak-pihak yang diberikan kewenangan untuk mengelola zakat di Indonesia, dimana kewenangan sepenuhnya pengelolaan zakat di ampu oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) baik pada tingkat pusat maupun daerah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dalam kapasitas membantu penghimpunan serta pendistribusian dana Zakat, Infak dan Shodaqah (ZIS), selebihnya BAZNAS membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) pada Intansi pemerintah, perusahaan serta Masjid.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dengan harapan apabila zakat dikelola secara rapi dan profesional maka zakat memang benar-benar bisa menjadi sumber dana umat yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Inisiatif perumusan undang-undang pengelolaan zakat apabila dilacak dalam penjelasan, terlihat mengidealkan pengelolaan zakat yang profesional, bertanggung jawab, berkepastian hukum dan dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat.
*Penulis Adalah Pelaksana BAZNAS Kab. Trenggalek dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[1] Ali, Muhamad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UII Press.1988. Hal. 52-55
[2] Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Islamic Economic:Theory and Practice.Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf. 1995. Hal. 271